RSS

Dua puluh tahun dari sekarang, kita akan menyesal terhadap hal-hal yang tidak kita lakukan daripada hal-hal yang kita lakukan :D

Dalam Diam

     "Draaa, ini ditempel dimanaaa?"

     Dengan tergesa-gesa ia menghampiriku. Setumpuk kertas telah ada di kedua tangannya, menunggu dipajang di mading sekolah. Aku tertawa melihatnya. Peluh yang terus berjatuhan dari keningnya membuatku kasihan. Panasnya matahari membuat pipinya merah merona. Hah. Sungguh indah makhluk ciptaan-Mu ini, Tuhan.

     "Lo abis darimana sih? Sampe keringetan begini," aku menyerahkan tisu kepadanya.

     Ia mengambil selembar lalu mengelap wajahnya. "Tadi gue hampir aja dikonciin di gerbang. Pas banget pas gue ngelewatin gerbang, gerbangnya ditutup! Gila!" Dina bercerita panjang lebar dengan semangat yang berapi-api. Kemudian dia menatapku. "Ini tempel dimana, Dra? Kalo gak ditempel nanti gue kena omel lagi sama Si Mata Empat," ia cemberut.

     Si Mata Empat itu Ketua Mading di SMA Pelita ini. Reza Andika.

     Lucu banget sih, batinku. "Lagian bukannya dateng pagi-pagi, malah baru dateng jam segini. Untung kunci Mading masih di gue, kalo sama Reza, gimana?" Aku mengacak-acak rambutnya sambil tertawa sedangkan wajah Dina semakin merana. "Nih. Pegang baik-baik. Jangan sampe ilang," aku menyerahkan beberapa kunci kepadanya.

     Dina mengangguk. "Iya. Gak akan ilang. Dijamin!"

     Dan ia tersenyum.

     Senyum terindah yang pernah gue lihat. Apa mungkin karena Dina yang tersenyum? Yang mana saja boleh lah. Haha. Entah sampai kapan aku harus menyimpan semuanya sendiri. Mungkinkah dia tahu? Aku pun berjalan menuju kelasku yang terdapat di ujung koridor.

     "Indra! Indra! Indra!"

     Aku menoleh lagi kebelakang. Ia melambaikan tangan sambil meneriakkan namaku berulang-ulang. "Kenapa?"

     "Nanti pulang bareng lagi ya! Bawa helm kan? Aku pengen nunjukkin sesuatu sama kamu!" Dina tersenyum. Lagi.

     Aku membalas senyumnya. "Ya."

     Lalu, diiringi senyumnya, dia pergi meneruskan pekerjaannya yang sempat tertunda.

     Aku tersenyum. Mana mungkin aku tidak membawa helm, Din? Aku selalu membawanya karena aku ingin kita selalu pulang bersama. Apa kamu tidak sadar?

     Tiba-tiba aku teringat ucapannya. Kalimatnya yang barusan terngiang-ngiang di kepala.

     Dina.....menggunakan kata 'aku-kamu'? Sejak kapan?

     Dengan cepat aku menoleh lagi ke belakang, mencari seseorang diantara kerumunan siswa. Disaat aku berhasil menemukannya, entah bagaimana caranya, ia menoleh ke arahku lalu tersenyum.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS