Frasa itu mengingatkanku
Tentang rasa bersalah di masa lalu
Bagai keliru menaburi bumbu
Mei terburuk sepanjang hidupku
Rasa manusiawiku yang terus menyeruak
Meronta hebat tak mau terkalahkan
Memerangi alam logika
Menentang hal mutlak, melewati batas
"Untuk apa aku melakukan hal ini?"
Kalimat itu pun kumuntahkan setiap hari
Bahkan sang peluru telah menembus ruang hati
Berpikir, "Mungkin engkaulah sang adipati"
Sejak kapan aku berbuat sejauh ini?
Berkata 'Kita' takkan sirna
Namun kini cahaya itu pudar
Berusaha mempertahankan
Tapi tak ada yang dipertahankan
Lalu kemana semua ini bermuara?
Di malam sekitar sebelas
Bisumu terdengar laksana koloni bintang
Tersembunyi dibalik bisingnya roda dua
Berharap gelap kan cepat terlewat
Kisah itu kini telah tiada
Entah apa yang harus kuceritakan
Pada langit yang selalu menunggu ceria
Terpancar penuh saat ku berdongeng tentangnya
Sungguh palsu saat kuberkata
"Kami berdua baik-baik saja"
Ya, dia baik melanjutkan kisahnya dengan seseorang
Dan aku terlalu baik untuk tetap menaruh asa tentangnya
Detik ini akhirnya kuputuskan
Menutup rapat sang perkamen tua
Terperangkap di kedalaman pikiran
Dan ego diri yang harus kubunuh setiap saat
Akulah sang pembunuh utama
Mengalahkan Jack The Ripper si aktor handal
Menikam setiap detail perasaan
Membingkainya menjadi prasasti tak bertuan
Puisi Kekalahanku
Frasa yang Tertinggal
Tempat pelarianku kini tak lagi sama. Bukannya melarikan diri ke sana karena suatu masalah, justru aku ingin melarikan diri dari sana untuk menghindari sebuah masalah.
Di bawah langit Kota Pelajar, aku merenungi segala hal yang telah tercipta. Entah itu karena suatu kesengajaan atau takdir tuhan yang terpaksa mempertemukan. Mozaik cinta mulai terukir indah sejak ia mengucapkan salam. Aku tak pernah menduga akan pernah berada di sampingnya, menemaninya, dan bercerita tentang mimpi dan cita yg ingin kugapai sekarang ; lebih tepatnya saat ini, atau mungkin kemarin?
Hanya pernah.
Ya.
Pernah.
Sebelumnya aku sempat berpikir, "Bolehkah ia mengambil alih kemudi yg kupegang?". Bagai nahkoda yang tak tahu arah, nasibku yang berada di tanah orang selalu kugantungkan kepada mereka. Mereka yang lebih dulu tinggal dan mengenal seluk-beluk Daerah Istimewa Yogyakarta. Aku buta, aku tuli, dan bahkan tak dapat merasakan semua hal yang harus kulalui saat memutuskan tuk pergi dari gubuk ternyaman di dunia yaitu rumah.
Disaat ku terjebak dalam ruang pikiran, kau datang menghapus elegi dalam setiap canda. Mencoba dengan berbagai cara agar aku bahagia dan mengambil segala perhatian yang kucurahkan pada hal lain sebelumnya. Aku dan sang waktu terus bertengkar hebat dengan 2 argumen keras yang bertolak belakang, menyusun strategi agar masing-masing tidak membawa luka dan penyesalan. Ia mengingatkanku tentang tragedi lama yang sudah kututup rapat, namun ku percaya semua akan berbeda. Ku mencoba lakukan sebaik yang ku bisa dan ia pun demikian, walau ku tak tahu hal apa yang terus ia pikirkan. Dan disaat perdebatan hampir kumenangkan, sang waktu telah lelah dan memutuskan tuk pulang. Memungut perasaan yang pernah ia tuangkan lalu pergi dengan cara yang tak indah. Meninggalkanku disini tanpa sesuatu yang bisa kujaga.
Namun, akhirnya aku menyadari apa yang kau pikirkan selama ini. Keraguanmu tentang segala angan dan bayangan sebuah kepastian. Dan ketika ku menyadari semuanya, kau telah memegang kemudimu sendiri lalu pergi ke sisi samudera lain. Menemui duniamu, imajinasimu, atau mungkin seseorang yang tak terlambat untuk menghargai semua usahamu.
Sekilas, cerita ini mirip dongeng seekor kancil yang menyeberangi sungai dengan bantuan seekor buaya. Jika si kancil tidak menengok ke belakang dan tetap melanjutkan perjalanan, ia tak mungkin kembali ke pinggir sungai karena memikirkan perasaan si buaya yang membantunya. Pada akhirnya, ia pun termakan oleh si buaya yang terlanjur merasa kecewa.
Terkadang aku menyesali keputusanku untuk hijrah karena terlalu banyak hal yang tak kumengerti dan kupahami. Teramat banyak hingga tak jarang butir-butir air mata jatuh membasahi pipi. Aku masih punya 3 tahun untuk memperbaiki semuanya. Memperbaiki pola pikirku, memperbaiki sifat burukku, dan memperbaiki manajemen waktuku.
Di antara semua kesalahan yang kulakukan, ada dua hal yang tak dapat kembali seperti semula. Kesalahan fatal yang membuatku kehilangan sosoknya sebagai pelita dalam gelap, dan kehilangan teman yang menghiburku dari penatnya kehidupan.
Kepercayaanmu......dan cintamu.





