Memandang langit dari balik kaca seperti biasa.
Berulang-ulang, mencoba memastikan bahwa semua ini nyata adanya. Angan indah yang dulu hanya berbentuk gambaran, kini menjelma menjadi sebuah bentuk keagungan Sang Kuasa. Menanamkan kepercayaan bahwa
tak ada hal yang tak bisa Tuhan berikan kepada umatnya.
Mungkin hanya dengan satu perintah - atau mungkin satu hembusan pelan - hidupku berubah bagaikan dalam khayalan. Aku sudah terbiasa dengan hal-hal pahit yang dapat membuat siapapun bertekuk lutut. Tidak mampu menahan beban yang melebihi kapasitas, katanya. Padahal jika mereka ingat,
Tuhan tidak akan memberikan suatu hal yang melebihi kemampuan kita untuk menghadapi itu semua.
Ah. Memang inilah saatnya aku menuai benih yang telah kutanam sejak lama. Akhirnya kesabaranku berpuluh-puluh tahun terbayarkan sudah. Kehidupan yang kupikir 'Menyeramkan' kini berganti nama menjadi Kehidupan yang 'Menyenangkan'.
Kutengok keadaan di sekitar. Kaca mobil yang dipenuhi embun ini membatasi jarak pandangku. Walau begitu, nampak jelas kemacetan yang membuatku terjebak disini.
"Pak, ini..." aku merenung sejenak, "di Cikini, kan?"
"Iya, Tuan. Bukankah bapak akan bertemu client di Jalan Surabaya?" jawab Anto, supir pribadiku yang umurnya sudah kepala lima, dilengkapi kumis dan rambut yang telah memutih.
Oh ya. Kenapa aku sampai lupa?
Jalan ini...sangat mengingatkan akan masa itu.
Menit demi menit kemacetan mulai mereda. Akhirnya mobilku dapat melintas walau harus tersendat-sendat. Tapi kemudian, kemacetan panjang kembali mengular. Ada pejabat yang mau lewat, ternyata. Aku pun kembali memandang ke luar kaca.
Seketika aku terdiam. Tepat di depan Stasiun Cikini, kaki-kaki kecil itu berlari. Dengan lincah dan riangnya, bagai tak ingat kondisi cuaca, mereka menari di bawah rintik hujan yang masih menaungi Jakarta. Tak peduli dengan dinginnya udara maupun kerikil yang tak bersahabat, bocah-bocah kecil itu berlenggak-lenggok dengan semangat penuh cita.
Dan, bertelanjang kaki. Senyum polos mereka mungkin tak akan lepas dari wajah para bocah petualang ini. Dengan gesit mereka menyambangi deretan mobil korban kemacetan sore ini ; menyapa dengan ramah lalu mengelap kaca bagian depan dengan perlahan. Berharap sebuah nominal dari mobil sang pengendara. Beberapa dengan teganya hanya diam melihat, bahkan dengan kasar mengusir dengan alasan menghalangi pandangan.
Dan sampailah anak itu di depan mobilku. Dengan senyum tulus ia mulai mengelap kaca yang basah terguyur air hujan, walaupun usahanya sia-sia karena hujan tak kunjung melafalkan salam perpisahan. Tanpa menunggu ia yang mengetuk kaca di sampingku, kuturunkan kaca tersebut dan kuonggokkan kepalaku keluar. Anak itu segera datang dan menghampiri dengan wajah penuh harap. Tangan mungilnya telah terulur. Aku pun langsung memberi beberapa lembar dan, dia sangat terheran.
"Pak, ini kebanyakan..." katanya sambil mengembalikkan uang yang telah rela kuberi untuknya.
Aku terkekeh.
"Uang itu sama seperti manusia. Tidak ada manusia yang tidak ingin tidak berguna, kan? Nah, sama seperti uang. Kalau saya hanya menyimpannya, bukankah uang itu tidak berguna? Tapi jika saya memberikan kepada kamu, berarti uang ini berguna, kan?"
Anak itu hanya menganggukkan kepala. Entah dia mengerti atau tidak. Lalu setelah kesadarannya kembali pulih, ia langsung meloncat kegirangan.
"Horeee! Dapet duit banyak!!!"
Segera ia kembali bersama teman-temannya sambil berteriak demikian. Aku pikir ia akan menyombongkan diri dengan temannya yang lain, tapi ternyata tidak. Dengan murah hati ia membaginya dengan teman-teman sebaya-nya. Tepat ketika aku ingin menutup kaca, kudengar suara nyaring berteriak,
"BAPAK YANG PAKE KACAMATA! YANG DI MOBIL ITEM! MAKASIH BANYAK YAAA!!! SEMOGA ANDA TAMBAH SUKSES!!!"
Tak lupa ia melambai dengan semangat. Teman-temannya yang lain mengekor di belakang, ikut meneriakkan dan melambaikan tangan. Kubalas lambaian tangan itu hingga mereka menghilang dari pandangan. Ya. Mobil telah melaju. Kemacetan sudah teratasi dan kini diganti dengan deru mobil yang digas secara tak karuan.
"Maaf, Tuan. Sepertinya anda sangat peduli dengan mereka. Ada apa, Tuan?"
Lamunanku tersadarkan oleh suara Pak Anto. Aku pun terkekeh.
"Mereka mengingatkanku akan seseorang."
Kening Pak Anto berkerut. "Siapa, Tuan?"
Aku diam tak bersuara. Memori kenangan di masa itu pun berputar di kepala. Mereka memang mengingatkanku akan seseorang. Senyum itu...
Ya. Aku sangat tahu senyum itu. Karena...itulah diriku di masa lalu.
Jika seseorang tidak pernah menari di bawah hujan, maka dia belum merasakan apa arti kehidupan.






0 komentar:
Posting Komentar