RSS

Dua puluh tahun dari sekarang, kita akan menyesal terhadap hal-hal yang tidak kita lakukan daripada hal-hal yang kita lakukan :D

Dia

Hah. Terjadi lagi.

            Aku termenung di pinggir sofa. Sekali lagi, aku membuat dia marah. Entah apa yang aku perbuat, aku sendiri tidak mengerti dengan jelas. Mungkinkah karena ego semata? Mungkin. Ya. Dalam situasi seperti ini, segalanya menjadi mungkin. Kuputar kotak musik pemberian darinya dua hari yang lalu. Seketika aku membayangkan keadaan di hari itu.

            Nyaman. Bahagia. Beruntung.

            Ya. Di beberapa waktu, aku merasa beruntung telah memilikinya. Memiliki seseorang yang menyukai semua hal yang juga kusukai. Hebat bukan? Sangat jarang kita dapat menemukan seseorang yang seperti itu. Seakan melihat bayangan diriku sendiri di kehidupan nyata.

            Ternyata hal tersulit di dunia adalah memenangkan pertarungan dengan diri sendiri.

            Minta maaf - Tidak - Minta maaf - Tidak - Minta Maaf

            Daun terakhir pun telah gugur menyentuh tanah yang lembab. Dingin, seperti suasana hatiku sekarang. Sambil berjalan aku terus mengatakan hal serupa sembari mencabut satu per satu daun dari batangnya. Menggantungkan takdirku pada sebatang ranting tua dengan daun berwarna kuning di sekelilingnya.

            Minta maaf.

            Lagi-lagi kalimat itu yang aku dapatkan. Seharusnya dia yang meminta maaf kepadaku karena telah menurunkan seorang wanita dengan seenaknya di jalanan. Seharusnya dia yang meminta maaf! Hah. Aku sangat lelah menghadapinya. Disaat membentuk kenangan terindah, disaat itu juga harus menjalani pengalaman tak menyenangkan.

            Aku sudah terbiasa dengan pertengkaran seperti ini, tapi.....

            Aku merasa bahwa aku harus melakukan sesuatu. Perasaanku sungguh tak enak.

            Dan tak perlu menunggu lama, tiba-tiba aku tersadar dengan langkah kakiku yang membawaku menuju pagar rumahnya. Tanganku menggenggam besi tua lalu menggesernya hingga gerbang terbuka lebar. Kuketuk pintunya tiga kali. Sekali lagi. Sekali lagi.

            Oke. Ini yang terakhir. Awas saja ia tidak membukakannya. Kuketuk lagi. Dan seperti tadi, tidak ada jawaban pasti. Argh! Resek banget sih dia!

            Krek. Pintu terpaksa kubuka. Dengan segera aku memasuki rumahnya dan mencari sosoknya ke segala arah. Namun aku tak mendapat jawaban. Firasatku sungguh tak mengenakkan. Dari dapur, aku melihat Tante Dina sedang memasak kue. Aku pun langsung menghampirinya. Tanpa salam pembuka, aku mendatanginya dan berkata, "Tante, ada Adi gak?"

            Tante Dina menoleh kebelakang. "Eh, Hana. Maaf, tadi Ibu gak denger kalo kamu ngetuk pintu. Adi ya? Adi dari tadi siang belum pulang, Han. Tadi bukannya pergi sama kamu?"

            Hatiku mencelos. Tak tahu lagi harus berkata apa. Biasanya ia langsung pulang begitu 'berkelahi' denganku, tapi.....

            Jangan-jangan....

            Perasaanku semakin tak enak. Aku takut kehilangannya. Jangan-jangan ia terkena kecelakaan selama perjalanan pulang karena terlalu emosi menghadapiku yang keras kepala ini. Jangan-jangan karena kejadian tadi siang. Jangan-jangan ini salahku.

            Air mata pun mengalir deras. Aku sangat takut kehilangannya. Ia sahabat terbaik yang pernah aku miliki. Tak terbayangkan jika aku harus berpisah selamanya. Bagaimana ini? Jantungku berdegup kencang. Aku takut mendengar kenyataan yang ada. Bagaimana jika semuanya menjadi nyata? Bagaimana aku bisa tidur nyenyak setelahnya? Bagaimana jika...

            "Ma, Adi pulang."

            Saat kulihat sosoknya, tanpa pikir panjang aku langsung memeluknya bagaikan memeluk sesuatu yang sangat berharga. Kulihat wajahnya kebingungan. Tapi tak apa.

            Aku sangat senang dengan kehadirannya.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar