RSS

Dua puluh tahun dari sekarang, kita akan menyesal terhadap hal-hal yang tidak kita lakukan daripada hal-hal yang kita lakukan :D

Puisi Kekalahanku

Frasa itu mengingatkanku
Tentang rasa bersalah di masa lalu
Bagai keliru menaburi bumbu
Mei terburuk sepanjang hidupku

Rasa manusiawiku yang terus menyeruak
Meronta hebat tak mau terkalahkan
Memerangi alam logika
Menentang hal mutlak, melewati batas

"Untuk apa aku melakukan hal ini?"
Kalimat itu pun kumuntahkan setiap hari
Bahkan sang peluru telah menembus ruang hati
Berpikir, "Mungkin engkaulah sang adipati"

Sejak kapan aku berbuat sejauh ini?

Berkata 'Kita' takkan sirna
Namun kini cahaya itu pudar
Berusaha mempertahankan
Tapi tak ada yang dipertahankan

Lalu kemana semua ini bermuara?

Di malam sekitar sebelas
Bisumu terdengar laksana koloni bintang
Tersembunyi dibalik bisingnya roda dua
Berharap gelap kan cepat terlewat

Kisah itu kini telah tiada
Entah apa yang harus kuceritakan
Pada langit yang selalu menunggu ceria
Terpancar penuh saat ku berdongeng tentangnya

Sungguh palsu saat kuberkata
"Kami berdua baik-baik saja"
Ya, dia baik melanjutkan kisahnya dengan seseorang
Dan aku terlalu baik untuk tetap menaruh asa tentangnya

Detik ini akhirnya kuputuskan
Menutup rapat sang perkamen tua
Terperangkap di kedalaman pikiran
Dan ego diri yang harus kubunuh setiap saat

Akulah sang pembunuh utama
Mengalahkan Jack The Ripper si aktor handal
Menikam setiap detail perasaan
Membingkainya menjadi prasasti tak bertuan

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Frasa yang Tertinggal

Tempat pelarianku kini tak lagi sama. Bukannya melarikan diri ke sana karena suatu masalah, justru aku ingin melarikan diri dari sana untuk menghindari sebuah masalah.

Di bawah langit Kota Pelajar, aku merenungi segala hal yang telah tercipta. Entah itu karena suatu kesengajaan atau takdir tuhan yang terpaksa mempertemukan. Mozaik cinta mulai terukir indah sejak ia mengucapkan salam. Aku tak pernah menduga akan pernah berada di sampingnya, menemaninya, dan bercerita tentang mimpi dan cita yg ingin kugapai sekarang ; lebih tepatnya saat ini, atau mungkin kemarin?

Hanya pernah.
Ya.
Pernah.

Sebelumnya aku sempat berpikir, "Bolehkah ia mengambil alih kemudi yg kupegang?". Bagai nahkoda yang tak tahu arah, nasibku yang berada di tanah orang selalu kugantungkan kepada mereka. Mereka yang lebih dulu tinggal dan mengenal seluk-beluk Daerah Istimewa Yogyakarta. Aku buta, aku tuli, dan bahkan tak dapat merasakan semua hal yang harus kulalui saat memutuskan tuk pergi dari gubuk ternyaman di dunia yaitu rumah.

Disaat ku terjebak dalam ruang pikiran, kau datang menghapus elegi dalam setiap canda. Mencoba dengan berbagai cara agar aku bahagia dan mengambil segala perhatian yang kucurahkan pada hal lain sebelumnya. Aku dan sang waktu terus bertengkar hebat dengan 2 argumen keras yang bertolak belakang, menyusun strategi agar masing-masing tidak membawa luka dan penyesalan. Ia mengingatkanku tentang tragedi lama yang sudah kututup rapat, namun ku percaya semua akan berbeda. Ku mencoba lakukan sebaik yang ku bisa dan ia pun demikian, walau ku tak tahu hal apa yang terus ia pikirkan. Dan disaat perdebatan hampir kumenangkan, sang waktu telah lelah dan memutuskan tuk pulang. Memungut perasaan yang pernah ia tuangkan lalu pergi dengan cara yang tak indah. Meninggalkanku disini tanpa sesuatu yang bisa kujaga.

Namun, akhirnya aku menyadari apa yang kau pikirkan selama ini. Keraguanmu tentang segala angan dan bayangan sebuah kepastian. Dan ketika ku menyadari semuanya, kau telah memegang kemudimu sendiri lalu pergi ke sisi samudera lain. Menemui duniamu, imajinasimu, atau mungkin seseorang yang tak terlambat untuk menghargai semua usahamu.

Sekilas, cerita ini mirip dongeng seekor kancil yang menyeberangi sungai dengan bantuan seekor buaya. Jika si kancil tidak menengok ke belakang dan tetap melanjutkan perjalanan, ia tak mungkin kembali ke pinggir sungai karena memikirkan perasaan si buaya yang membantunya. Pada akhirnya, ia pun termakan oleh si buaya yang terlanjur merasa kecewa.

Terkadang aku menyesali keputusanku untuk hijrah karena terlalu banyak hal yang tak kumengerti dan kupahami. Teramat banyak hingga tak jarang butir-butir air mata jatuh membasahi pipi. Aku masih punya 3 tahun untuk memperbaiki semuanya. Memperbaiki pola pikirku, memperbaiki sifat burukku, dan memperbaiki manajemen waktuku.

Di antara semua kesalahan yang kulakukan, ada dua hal yang tak dapat kembali seperti semula. Kesalahan fatal yang membuatku kehilangan sosoknya sebagai pelita dalam gelap, dan kehilangan teman yang menghiburku dari penatnya kehidupan.

Kepercayaanmu......dan cintamu.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Begin Again

            Kupikir di masa baru seperti ini, kejadian lama tidak akan terulang lagi. Kejadian yang selalu terulang-ulang bagaikan roda takdir yang terus berputar tanpa henti. Roda takdir itu terus mengikuti kemana langkahku pergi, dimana aku berada, dan selalu datang dalam mimpiku bagaikan nightmare yang selalu mengetuk pintu dulu untuk masuk dalam tidurku.

            Kupikir semuanya akan berubah kini. Aku, dia, dan takdir buruk yang terus menghantuiku setiap waktu. Bagai menguntitku dari belakang dan menyergap tanpa kutahu keberadaannya. Menarik siapa saja yang ada di dekatku untuk memainkan permainan mengerikan yang bukan hanya mengorbankan raga, namun juga hati dan perasaan. Terus menyiksaku dengan berbagai cara yang sama dan dengan tokoh yang berbeda.

            Kupikir masalah ini akan terhenti. Ternyata aku salah. Justru luka di hati ini semakin menganga lebar dan rasanya sulit untuk ditutupi kembali. Walaupun berhasil, luka ini akan terus membekas dalam jiwa. Sayatan demi sayatan digoreskan dengan mudahnya  tanpa bertanya rasa dengan pemiliknya. Bagaikan ingin lari dari kehidupan yang kejam namun akhirnya tetap bertahan karena masih ingin berharap datangnya keajaiban.

            Kupikir bodoh sekali aku ini. Sampai sekarang masih mencoba untuk percaya bahwa aku pantas bahagia. Masih mencoba untuk percaya akan adanya keajaiban yang mungkin dapat menuntunku keluar dari lumpur hisap yang bisa menelanku ke bagian bumi terdalam kapanpun sesuka yang ia mau.

            Kupikir bodoh sekali aku ini. Aku membiarkan nightmare itu masuk dalam kehidupanku. Padahal ia sudah dengan sopannya mengetuk pintu dan memberi kesempatanku untuk membolehkan ia masuk atau mengusirnya jauh-jauh dari kehidupanku. Aku punya kesempatan itu. Tapi dengan bodohnya aku biarkan ia masuk demi sebuah harapan yang ternyata tak bisa terkabulkan [ralat : tak akan terkabulkan].

            Kupikir bodoh sekali aku ini. Aku membiarkannya masuk dalam kehidupanku, berharap ia dapat merubah duniaku dengan serbuk ajaib yang ia miliki. Aku seperti orang bodoh yang berhasil masuk perangkapnya lalu terjerat tak dapat lepas. Hanya dapat berharap waktu dapat menghentikan semua.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Dalam Diam

     "Draaa, ini ditempel dimanaaa?"

     Dengan tergesa-gesa ia menghampiriku. Setumpuk kertas telah ada di kedua tangannya, menunggu dipajang di mading sekolah. Aku tertawa melihatnya. Peluh yang terus berjatuhan dari keningnya membuatku kasihan. Panasnya matahari membuat pipinya merah merona. Hah. Sungguh indah makhluk ciptaan-Mu ini, Tuhan.

     "Lo abis darimana sih? Sampe keringetan begini," aku menyerahkan tisu kepadanya.

     Ia mengambil selembar lalu mengelap wajahnya. "Tadi gue hampir aja dikonciin di gerbang. Pas banget pas gue ngelewatin gerbang, gerbangnya ditutup! Gila!" Dina bercerita panjang lebar dengan semangat yang berapi-api. Kemudian dia menatapku. "Ini tempel dimana, Dra? Kalo gak ditempel nanti gue kena omel lagi sama Si Mata Empat," ia cemberut.

     Si Mata Empat itu Ketua Mading di SMA Pelita ini. Reza Andika.

     Lucu banget sih, batinku. "Lagian bukannya dateng pagi-pagi, malah baru dateng jam segini. Untung kunci Mading masih di gue, kalo sama Reza, gimana?" Aku mengacak-acak rambutnya sambil tertawa sedangkan wajah Dina semakin merana. "Nih. Pegang baik-baik. Jangan sampe ilang," aku menyerahkan beberapa kunci kepadanya.

     Dina mengangguk. "Iya. Gak akan ilang. Dijamin!"

     Dan ia tersenyum.

     Senyum terindah yang pernah gue lihat. Apa mungkin karena Dina yang tersenyum? Yang mana saja boleh lah. Haha. Entah sampai kapan aku harus menyimpan semuanya sendiri. Mungkinkah dia tahu? Aku pun berjalan menuju kelasku yang terdapat di ujung koridor.

     "Indra! Indra! Indra!"

     Aku menoleh lagi kebelakang. Ia melambaikan tangan sambil meneriakkan namaku berulang-ulang. "Kenapa?"

     "Nanti pulang bareng lagi ya! Bawa helm kan? Aku pengen nunjukkin sesuatu sama kamu!" Dina tersenyum. Lagi.

     Aku membalas senyumnya. "Ya."

     Lalu, diiringi senyumnya, dia pergi meneruskan pekerjaannya yang sempat tertunda.

     Aku tersenyum. Mana mungkin aku tidak membawa helm, Din? Aku selalu membawanya karena aku ingin kita selalu pulang bersama. Apa kamu tidak sadar?

     Tiba-tiba aku teringat ucapannya. Kalimatnya yang barusan terngiang-ngiang di kepala.

     Dina.....menggunakan kata 'aku-kamu'? Sejak kapan?

     Dengan cepat aku menoleh lagi ke belakang, mencari seseorang diantara kerumunan siswa. Disaat aku berhasil menemukannya, entah bagaimana caranya, ia menoleh ke arahku lalu tersenyum.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Dia

Hah. Terjadi lagi.

            Aku termenung di pinggir sofa. Sekali lagi, aku membuat dia marah. Entah apa yang aku perbuat, aku sendiri tidak mengerti dengan jelas. Mungkinkah karena ego semata? Mungkin. Ya. Dalam situasi seperti ini, segalanya menjadi mungkin. Kuputar kotak musik pemberian darinya dua hari yang lalu. Seketika aku membayangkan keadaan di hari itu.

            Nyaman. Bahagia. Beruntung.

            Ya. Di beberapa waktu, aku merasa beruntung telah memilikinya. Memiliki seseorang yang menyukai semua hal yang juga kusukai. Hebat bukan? Sangat jarang kita dapat menemukan seseorang yang seperti itu. Seakan melihat bayangan diriku sendiri di kehidupan nyata.

            Ternyata hal tersulit di dunia adalah memenangkan pertarungan dengan diri sendiri.

            Minta maaf - Tidak - Minta maaf - Tidak - Minta Maaf

            Daun terakhir pun telah gugur menyentuh tanah yang lembab. Dingin, seperti suasana hatiku sekarang. Sambil berjalan aku terus mengatakan hal serupa sembari mencabut satu per satu daun dari batangnya. Menggantungkan takdirku pada sebatang ranting tua dengan daun berwarna kuning di sekelilingnya.

            Minta maaf.

            Lagi-lagi kalimat itu yang aku dapatkan. Seharusnya dia yang meminta maaf kepadaku karena telah menurunkan seorang wanita dengan seenaknya di jalanan. Seharusnya dia yang meminta maaf! Hah. Aku sangat lelah menghadapinya. Disaat membentuk kenangan terindah, disaat itu juga harus menjalani pengalaman tak menyenangkan.

            Aku sudah terbiasa dengan pertengkaran seperti ini, tapi.....

            Aku merasa bahwa aku harus melakukan sesuatu. Perasaanku sungguh tak enak.

            Dan tak perlu menunggu lama, tiba-tiba aku tersadar dengan langkah kakiku yang membawaku menuju pagar rumahnya. Tanganku menggenggam besi tua lalu menggesernya hingga gerbang terbuka lebar. Kuketuk pintunya tiga kali. Sekali lagi. Sekali lagi.

            Oke. Ini yang terakhir. Awas saja ia tidak membukakannya. Kuketuk lagi. Dan seperti tadi, tidak ada jawaban pasti. Argh! Resek banget sih dia!

            Krek. Pintu terpaksa kubuka. Dengan segera aku memasuki rumahnya dan mencari sosoknya ke segala arah. Namun aku tak mendapat jawaban. Firasatku sungguh tak mengenakkan. Dari dapur, aku melihat Tante Dina sedang memasak kue. Aku pun langsung menghampirinya. Tanpa salam pembuka, aku mendatanginya dan berkata, "Tante, ada Adi gak?"

            Tante Dina menoleh kebelakang. "Eh, Hana. Maaf, tadi Ibu gak denger kalo kamu ngetuk pintu. Adi ya? Adi dari tadi siang belum pulang, Han. Tadi bukannya pergi sama kamu?"

            Hatiku mencelos. Tak tahu lagi harus berkata apa. Biasanya ia langsung pulang begitu 'berkelahi' denganku, tapi.....

            Jangan-jangan....

            Perasaanku semakin tak enak. Aku takut kehilangannya. Jangan-jangan ia terkena kecelakaan selama perjalanan pulang karena terlalu emosi menghadapiku yang keras kepala ini. Jangan-jangan karena kejadian tadi siang. Jangan-jangan ini salahku.

            Air mata pun mengalir deras. Aku sangat takut kehilangannya. Ia sahabat terbaik yang pernah aku miliki. Tak terbayangkan jika aku harus berpisah selamanya. Bagaimana ini? Jantungku berdegup kencang. Aku takut mendengar kenyataan yang ada. Bagaimana jika semuanya menjadi nyata? Bagaimana aku bisa tidur nyenyak setelahnya? Bagaimana jika...

            "Ma, Adi pulang."

            Saat kulihat sosoknya, tanpa pikir panjang aku langsung memeluknya bagaikan memeluk sesuatu yang sangat berharga. Kulihat wajahnya kebingungan. Tapi tak apa.

            Aku sangat senang dengan kehadirannya.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS