Begin Again
Dalam Diam
"Draaa, ini ditempel dimanaaa?"
Dengan tergesa-gesa ia menghampiriku. Setumpuk kertas telah ada di kedua tangannya, menunggu dipajang di mading sekolah. Aku tertawa melihatnya. Peluh yang terus berjatuhan dari keningnya membuatku kasihan. Panasnya matahari membuat pipinya merah merona. Hah. Sungguh indah makhluk ciptaan-Mu ini, Tuhan.
"Lo abis darimana sih? Sampe keringetan begini," aku menyerahkan tisu kepadanya.
Ia mengambil selembar lalu mengelap wajahnya. "Tadi gue hampir aja dikonciin di gerbang. Pas banget pas gue ngelewatin gerbang, gerbangnya ditutup! Gila!" Dina bercerita panjang lebar dengan semangat yang berapi-api. Kemudian dia menatapku. "Ini tempel dimana, Dra? Kalo gak ditempel nanti gue kena omel lagi sama Si Mata Empat," ia cemberut.
Si Mata Empat itu Ketua Mading di SMA Pelita ini. Reza Andika.
Lucu banget sih, batinku. "Lagian bukannya dateng pagi-pagi, malah baru dateng jam segini. Untung kunci Mading masih di gue, kalo sama Reza, gimana?" Aku mengacak-acak rambutnya sambil tertawa sedangkan wajah Dina semakin merana. "Nih. Pegang baik-baik. Jangan sampe ilang," aku menyerahkan beberapa kunci kepadanya.
Dina mengangguk. "Iya. Gak akan ilang. Dijamin!"
Dan ia tersenyum.
Senyum terindah yang pernah gue lihat. Apa mungkin karena Dina yang tersenyum? Yang mana saja boleh lah. Haha. Entah sampai kapan aku harus menyimpan semuanya sendiri. Mungkinkah dia tahu? Aku pun berjalan menuju kelasku yang terdapat di ujung koridor.
"Indra! Indra! Indra!"
Aku menoleh lagi kebelakang. Ia melambaikan tangan sambil meneriakkan namaku berulang-ulang. "Kenapa?"
"Nanti pulang bareng lagi ya! Bawa helm kan? Aku pengen nunjukkin sesuatu sama kamu!" Dina tersenyum. Lagi.
Aku membalas senyumnya. "Ya."
Lalu, diiringi senyumnya, dia pergi meneruskan pekerjaannya yang sempat tertunda.
Aku tersenyum. Mana mungkin aku tidak membawa helm, Din? Aku selalu membawanya karena aku ingin kita selalu pulang bersama. Apa kamu tidak sadar?
Tiba-tiba aku teringat ucapannya. Kalimatnya yang barusan terngiang-ngiang di kepala.
Dina.....menggunakan kata 'aku-kamu'? Sejak kapan?
Dengan cepat aku menoleh lagi ke belakang, mencari seseorang diantara kerumunan siswa. Disaat aku berhasil menemukannya, entah bagaimana caranya, ia menoleh ke arahku lalu tersenyum.
Dia
Hah. Terjadi lagi.
Aku termenung di pinggir sofa. Sekali lagi, aku membuat dia marah. Entah apa yang aku perbuat, aku sendiri tidak mengerti dengan jelas. Mungkinkah karena ego semata? Mungkin. Ya. Dalam situasi seperti ini, segalanya menjadi mungkin. Kuputar kotak musik pemberian darinya dua hari yang lalu. Seketika aku membayangkan keadaan di hari itu.
Nyaman. Bahagia. Beruntung.
Ya. Di beberapa waktu, aku merasa beruntung telah memilikinya. Memiliki seseorang yang menyukai semua hal yang juga kusukai. Hebat bukan? Sangat jarang kita dapat menemukan seseorang yang seperti itu. Seakan melihat bayangan diriku sendiri di kehidupan nyata.
Ternyata hal tersulit di dunia adalah memenangkan pertarungan dengan diri sendiri.
Minta maaf - Tidak - Minta maaf - Tidak - Minta Maaf
Daun terakhir pun telah gugur menyentuh tanah yang lembab. Dingin, seperti suasana hatiku sekarang. Sambil berjalan aku terus mengatakan hal serupa sembari mencabut satu per satu daun dari batangnya. Menggantungkan takdirku pada sebatang ranting tua dengan daun berwarna kuning di sekelilingnya.
Minta maaf.
Lagi-lagi kalimat itu yang aku dapatkan. Seharusnya dia yang meminta maaf kepadaku karena telah menurunkan seorang wanita dengan seenaknya di jalanan. Seharusnya dia yang meminta maaf! Hah. Aku sangat lelah menghadapinya. Disaat membentuk kenangan terindah, disaat itu juga harus menjalani pengalaman tak menyenangkan.
Aku sudah terbiasa dengan pertengkaran seperti ini, tapi.....
Aku merasa bahwa aku harus melakukan sesuatu. Perasaanku sungguh tak enak.
Dan tak perlu menunggu lama, tiba-tiba aku tersadar dengan langkah kakiku yang membawaku menuju pagar rumahnya. Tanganku menggenggam besi tua lalu menggesernya hingga gerbang terbuka lebar. Kuketuk pintunya tiga kali. Sekali lagi. Sekali lagi.
Oke. Ini yang terakhir. Awas saja ia tidak membukakannya. Kuketuk lagi. Dan seperti tadi, tidak ada jawaban pasti. Argh! Resek banget sih dia!
Krek. Pintu terpaksa kubuka. Dengan segera aku memasuki rumahnya dan mencari sosoknya ke segala arah. Namun aku tak mendapat jawaban. Firasatku sungguh tak mengenakkan. Dari dapur, aku melihat Tante Dina sedang memasak kue. Aku pun langsung menghampirinya. Tanpa salam pembuka, aku mendatanginya dan berkata, "Tante, ada Adi gak?"
Tante Dina menoleh kebelakang. "Eh, Hana. Maaf, tadi Ibu gak denger kalo kamu ngetuk pintu. Adi ya? Adi dari tadi siang belum pulang, Han. Tadi bukannya pergi sama kamu?"
Hatiku mencelos. Tak tahu lagi harus berkata apa. Biasanya ia langsung pulang begitu 'berkelahi' denganku, tapi.....
Jangan-jangan....
Perasaanku semakin tak enak. Aku takut kehilangannya. Jangan-jangan ia terkena kecelakaan selama perjalanan pulang karena terlalu emosi menghadapiku yang keras kepala ini. Jangan-jangan karena kejadian tadi siang. Jangan-jangan ini salahku.
Air mata pun mengalir deras. Aku sangat takut kehilangannya. Ia sahabat terbaik yang pernah aku miliki. Tak terbayangkan jika aku harus berpisah selamanya. Bagaimana ini? Jantungku berdegup kencang. Aku takut mendengar kenyataan yang ada. Bagaimana jika semuanya menjadi nyata? Bagaimana aku bisa tidur nyenyak setelahnya? Bagaimana jika...
"Ma, Adi pulang."
Saat kulihat sosoknya, tanpa pikir panjang aku langsung memeluknya bagaikan memeluk sesuatu yang sangat berharga. Kulihat wajahnya kebingungan. Tapi tak apa.
Aku sangat senang dengan kehadirannya.
Dancing In The Rain - by Anisa Cahyani (Me!)
Memandang langit dari balik kaca seperti biasa.
Berulang-ulang, mencoba memastikan bahwa semua ini nyata adanya. Angan indah yang dulu hanya berbentuk gambaran, kini menjelma menjadi sebuah bentuk keagungan Sang Kuasa. Menanamkan kepercayaan bahwa
tak ada hal yang tak bisa Tuhan berikan kepada umatnya.
Mungkin hanya dengan satu perintah - atau mungkin satu hembusan pelan - hidupku berubah bagaikan dalam khayalan. Aku sudah terbiasa dengan hal-hal pahit yang dapat membuat siapapun bertekuk lutut. Tidak mampu menahan beban yang melebihi kapasitas, katanya. Padahal jika mereka ingat,
Tuhan tidak akan memberikan suatu hal yang melebihi kemampuan kita untuk menghadapi itu semua.
Ah. Memang inilah saatnya aku menuai benih yang telah kutanam sejak lama. Akhirnya kesabaranku berpuluh-puluh tahun terbayarkan sudah. Kehidupan yang kupikir 'Menyeramkan' kini berganti nama menjadi Kehidupan yang 'Menyenangkan'.
Kutengok keadaan di sekitar. Kaca mobil yang dipenuhi embun ini membatasi jarak pandangku. Walau begitu, nampak jelas kemacetan yang membuatku terjebak disini.
"Pak, ini..." aku merenung sejenak, "di Cikini, kan?"
"Iya, Tuan. Bukankah bapak akan bertemu client di Jalan Surabaya?" jawab Anto, supir pribadiku yang umurnya sudah kepala lima, dilengkapi kumis dan rambut yang telah memutih.
Oh ya. Kenapa aku sampai lupa?
Jalan ini...sangat mengingatkan akan masa itu.
Menit demi menit kemacetan mulai mereda. Akhirnya mobilku dapat melintas walau harus tersendat-sendat. Tapi kemudian, kemacetan panjang kembali mengular. Ada pejabat yang mau lewat, ternyata. Aku pun kembali memandang ke luar kaca.
Seketika aku terdiam. Tepat di depan Stasiun Cikini, kaki-kaki kecil itu berlari. Dengan lincah dan riangnya, bagai tak ingat kondisi cuaca, mereka menari di bawah rintik hujan yang masih menaungi Jakarta. Tak peduli dengan dinginnya udara maupun kerikil yang tak bersahabat, bocah-bocah kecil itu berlenggak-lenggok dengan semangat penuh cita.
Dan, bertelanjang kaki. Senyum polos mereka mungkin tak akan lepas dari wajah para bocah petualang ini. Dengan gesit mereka menyambangi deretan mobil korban kemacetan sore ini ; menyapa dengan ramah lalu mengelap kaca bagian depan dengan perlahan. Berharap sebuah nominal dari mobil sang pengendara. Beberapa dengan teganya hanya diam melihat, bahkan dengan kasar mengusir dengan alasan menghalangi pandangan.
Dan sampailah anak itu di depan mobilku. Dengan senyum tulus ia mulai mengelap kaca yang basah terguyur air hujan, walaupun usahanya sia-sia karena hujan tak kunjung melafalkan salam perpisahan. Tanpa menunggu ia yang mengetuk kaca di sampingku, kuturunkan kaca tersebut dan kuonggokkan kepalaku keluar. Anak itu segera datang dan menghampiri dengan wajah penuh harap. Tangan mungilnya telah terulur. Aku pun langsung memberi beberapa lembar dan, dia sangat terheran.
"Pak, ini kebanyakan..." katanya sambil mengembalikkan uang yang telah rela kuberi untuknya.
Aku terkekeh.
"Uang itu sama seperti manusia. Tidak ada manusia yang tidak ingin tidak berguna, kan? Nah, sama seperti uang. Kalau saya hanya menyimpannya, bukankah uang itu tidak berguna? Tapi jika saya memberikan kepada kamu, berarti uang ini berguna, kan?"
Anak itu hanya menganggukkan kepala. Entah dia mengerti atau tidak. Lalu setelah kesadarannya kembali pulih, ia langsung meloncat kegirangan.
"Horeee! Dapet duit banyak!!!"
Segera ia kembali bersama teman-temannya sambil berteriak demikian. Aku pikir ia akan menyombongkan diri dengan temannya yang lain, tapi ternyata tidak. Dengan murah hati ia membaginya dengan teman-teman sebaya-nya. Tepat ketika aku ingin menutup kaca, kudengar suara nyaring berteriak,
"BAPAK YANG PAKE KACAMATA! YANG DI MOBIL ITEM! MAKASIH BANYAK YAAA!!! SEMOGA ANDA TAMBAH SUKSES!!!"
Tak lupa ia melambai dengan semangat. Teman-temannya yang lain mengekor di belakang, ikut meneriakkan dan melambaikan tangan. Kubalas lambaian tangan itu hingga mereka menghilang dari pandangan. Ya. Mobil telah melaju. Kemacetan sudah teratasi dan kini diganti dengan deru mobil yang digas secara tak karuan.
"Maaf, Tuan. Sepertinya anda sangat peduli dengan mereka. Ada apa, Tuan?"
Lamunanku tersadarkan oleh suara Pak Anto. Aku pun terkekeh.
"Mereka mengingatkanku akan seseorang."
Kening Pak Anto berkerut. "Siapa, Tuan?"
Aku diam tak bersuara. Memori kenangan di masa itu pun berputar di kepala. Mereka memang mengingatkanku akan seseorang. Senyum itu...
Ya. Aku sangat tahu senyum itu. Karena...itulah diriku di masa lalu.
Jika seseorang tidak pernah menari di bawah hujan, maka dia belum merasakan apa arti kehidupan.





